Kisah Para Penghuni Lempuyangan

Cerita Budi

Namanya Budi Sulistiono. Beberapa tahun yang lalu saya bertemu dengan anak jalanan ini saat hunting foto di stasiun Lempuyangan. Waktu itu, Budi sudah lima tahun hidup di jalanan. Ia kabur dari rumah karena ingin bebas. Tidak diatur-atur, punya banyak teman dan bisa pergi ke mana saja tanpa pamit. Budi yang lebih sering dipanggil Budi N’dut atau N’dut cilik ini mengaku berumur sekitar 12 atau 13 tahun. Jika ditanya tentang kapan tepatnya ia lahir, ia mengaku tidak tahu. Bagi Budi dan juga anak jalanan lain, tanggal lahir bukanlah hal yang terlalu penting untuk diingat.

Budi dan puluhan atau bahkan ratusan anak jalanan yang sering berkeliaran di Lempuyangan tidak pernah memiliki tempat tinggal tetap. Mereka tinggal berpindah-pindah tanpa tujuan pasti. Anak-anak jalanan ini bisa saja tidur di tempat-tempat umum seperti emperan toko, gardu ronda, musolla, atau di antara palang kereta api. Tidurnya pun cukup dengan alas selembar plastik, kardus, atau apa saja yang mereka temukan saat lelah. Di Yogja, stasiun Lempuyangan merupakan salah satu ‘rumah’ untuk anak jalanan. Di sini selalu ada gerbong yang diparkir atau gedung-gedung tua yang sudah tidak terpakai untuk tinggal sementara waktu.

Anak jalanan Lempuyangan kebanyakan berasal dari Jakarta atau Surabaya. Mereka datang ke Yogya dengan menumpang kereta kelas ekonomi. Kata Budi, Yogja lebih nyaman untuk ‘tinggal’ karena tidak ada kamtib. Berbeda dengan Surabaya yang sering mengadakan pembersihan anak jalanan dan gelandangan. Apabila ada anak jalanan tertangkap, mereka akan ditanyai alamat rumah. Setelah itu mereka diberi makan dan uang kemudian diantar pulang ke rumah. Sebelumnya, mereka diancam apabila tertangkap lagi akan dibawa ke panti asuhan.

Budi masih mempunyai orangtua yang tinggal di Surabaya. Bapaknya, seorang tukang batu bernama Kuritno. Ibunya, Sulastri, bekerja sebagai penjahit musiman. Budi menjadi pengamen sejak kelas satu SD. Awalnya, ia hanya mengamen sebelum dan sesudah sekolah. Uang kerjanya dipakai untuk membayar sekolah, jajan dan sisanya diberikan kepada ibunya untuk menambah biaya hidup sehari-hari. Dulu, Budi sempat bersekolah sampai kelas empat SD. Ia seharusnya bersekolah sampai kelas enam, tapi ia sempat tidak naik kelas dua kali saat duduk di bangku kelas tiga.

Waktu kelas empat, Budi memutuskan untuk kabur dari rumah. Alasannya, ia ingin bebas seperti teman-teman mengamennya yang lain. Ia kemudian ikut kereta api ke Yogja. Sesampainya di Yogya, Budi keluyuran sendirian di jalan Malioboro selama dua tahun. Akhirnya, Budi bertemu dengan mami Vinolia—seorang waria yang direkrut oleh PKBI untuk mengurus anak jalanan dan waria di Lempuyangan—yang kemudian mengajaknya untuk pindah di Lempuyangan.

Tidak ada angka pasti mengenai berapa orang anak jalanan yang tinggal di Lempuyangan. Kadang hanya ada beberapa, namun bisa juga mencapai ratusan pada malam-malam tertentu seperti hari libur. Anak jalanan ini tidak memiliki tempat tinggal tetap. Mereka bisa ditemui pada pagi dan sore hari sedang tertidur atau berkeliaran di gerbong yang sedang diparkir, musholla An-Nur, atau di antara palang-palang kereta api. Siang hari, mereka jarang ada di sana karena sibuk mengamen di tempat lain. Tempat yang umum dipakai mangkal anak jalanan pada siang hari adalah perempatan-perempatan atau di dalam kereta api ekonomi seperti Pasundan dan Bengawan. Sore hari setelah jam tiga, biasanya anak jalanan ini berkeliaran di sekitar Lempuyangan. Mereka sekadar jalan-jalan sendirian, mengejar layangan putus, atau naik kereta yang sedang langsir.

Kata Budi, seorang pengamen jalanan itu tidak pernah mendapatkan pendapatan pasti. Biasanya sekitar 10.000 sampai 20.000 rupiah tiap harinya. Ia memakai uangnya untuk makan, membeli rokok, dan lem! Menu hariannya nasi kucing di angkringan yang harga per bungkusnya sekitar 500 sampai 1000 rupiah. Budi juga menyisihkan uangnya untuk bekal kelak jika pulang ke rumah. Terakhir kali saya bertemu dengannya, jumlah uang tabungan itu sekitar 85.000 rupiah.

Kadang Budi bercerita kalau ia masih ingin pulang ke rumah. Ia ingin berkumpul kembali dengan keluarganya dan menjalani hidup yang nyaman seperti layaknya anak-anak lain. Menurutnya, hidup sebagai anak jalanan sering tidak aman. Banyak anak jalanan yang lebih besar atau gelandangan yang merebut uang anak jalanan yang lebih kecil. Tak jarang anak-anak jalanan yang lebih kecil mengalami penganiayaan dari senior-seniornya. Tapi ia mengaku sudah lupa di mana rumahnya dan kadang ia takut bertemu kembali dengan ayahnya.

Cerita Lempuyangan dan penghuni lainnya

Stasiun Lempuyangan pertama kali dioperasikan pada tanggal 2 Maret 1872 oleh N.I.S (Nederlands Indische Spoorweg Maatschappij). Awalnya, stasiun ini dibuka untuk melayani pengangkutan terutama terutama komoditi pertanian pada jalur Yogya-Semarang. Dulu, setelah undang-undang agraria tahun 1870 terbit, banyak perusahaan swasta asing yang mengangkut hasil bumi dari Jawa ke luar negeri. Dari Yogya sebelumnya hasil pertanian ini diangkut ke pelabuhan dengan kereta.

Lima belas tahun kemudian, stasiun Tugu dibuka dengan tambahan jalur ke Jawa Barat dan Batavia. Popularitas Lempuyangan pun turun dengan adanya saingan yang letaknya lebih strategis. Dekat dengan pusat kota dan sejalur dengan jalan Malioboro yang menjadi jalan utama di Yogya. Sampai sekarang stasiun Tugu lebih populer sebagai ikon kota Yogyakarta.

Sejak tahun 2000 stasiun Tugu adalah tempat berhenti kereta kelas eksekutif. Stasiun ini lebih bersih dan memiliki ruang tunggu yang lebih nyaman. Tempat parkirnya pun lebih luas dan bisa menampung lebih banyak mobil. Berbeda dengan stasiun Lempuyangan yang kumuh, dan menjadi tempat berhenti kereta ekonomi serta gerbong barang.

Tapi stasiun Lempuyangan memiliki banyak cerita tentang orang-orang yang tinggal atau sekadar singgah di sana. Sejak pagi sampai malam ratusan orang datang ke sana untuk berbagai keperluan yang berbeda. Mulai dari penumpang kereta, penjual makanan, waria, anak jalanan, petugas kereta, sampai anak-anak kecil yang ditemani orangtuanya untuk sekadar melihat kereta.

Setiap pagi dan sore hari, ada beberapa titik di Lempuyangan yang dipakai mangkal waria dan gelandangan. Salah satu waria yang sering mengamen di kereta bernama Vera. Ia juga sering mengamen di lampu merah dekat Mirota Kampus atau perempatan SGM dengan rekan sesama warianya yang bernama Yanti. Dulu, saya pernah ngobrol dengan dia di toilet umum. Waktu itu saya heran melihat dia yang masuk ke toilet perempuan. Menurutnya, ia bisa memakai toilet mana saja karena dia setengah laki-laki dan setengah perempuan.

Vera, menurut penghuni Lempuyangan yang lain, adalah waria paling terkenal di Yogya. Ia pernah beberapa kali dijadikan model untuk pemotretan, main film, dan diteliti mahasiswa psikologi UGM. Waktu ngobrol dengannya, kesan centil langsung terlihat. Vera dengan bangganya bercerita tentang dirinya dan kepopulerannya. Ternyata dia lucu, tidak mengerikan seperti kata teman-teman saya. Banyak teman yang bercerita kalau waria ini galak dan suka mengancam kalau tidak diberi uang. Bahkan ada seorang teman laki-laki saya yang kapok membeli makan di daerah mirota pada malam hari karena ia pernah digoda Vera disana.

Selain Vera, masih banyak waria lain. Salah satunya adalah Marissa. Umurnya sekitar 35 tahun. Tiga tahun yang lalu, ia datang dari Sumatra Utara. Sejak kecil, dia sedah menampakkan sifat mirip perempuan. Teman-teman sekolah dan gurunya selalu mengejeknya banci. Lama-kelamaan, ia mulai nyaman memakai baju-baju perempuan. Setelah tamat SMU, ia mulai melacurkan diri dengan konsumen laki-laki.

Tidak tahan dengan kata-kata keluarga dan tetangga, Marissa kemudian pergi dari rumah. Ia kemudian merantau di daerah Sumatra dan kemudian pindah ke Yogya tiga tahun yang lalu. Awalnya, Marissa mengontrak rumah di daerah Kleringan bersama waria-waria lain. Marissa sempat memiliki ‘suami’, pria pengangguran ini tinggal bersamanya. Tiap hari, Marissa yang memberinya makan dan juga mencukupi kebutuhan sandangnya. Laki-laki ini ikut menikmati jerih payah Marissa berjualan diri selama dua tahun. Belum lama ini, suami Marissa pergi dengan seorang waria yang lebih muda.

Marissa kemudian tinggal berpindah-pindah. Ia tinggal di mana saja tempat ia bisa bertemu dengn teman lelaki. Salah satunya di stasiun Lempuyangan. Ia juga tetap berjualan diri. Tiap kali berhubungan seks dengan pelanggannya, Marissa jarang memakai kondom. Banyak konsumennya yang menolak memakai kondom karena membutuhkan waktu lama dan tidak nyaman. Meskipun demikian, Marissa tidak pernah khawatir tertular penyakit kelamin karena ia beranggapan bahwa darahnya sudah kebal dari macam-macam penyakit.

Ia kemudian bercerita tentang mimpi-mimpinya. Marissa ingin memiliki seorang suami yang cukup kaya untuk bisa membiayai hidupnya. Ia ingin tinggal di rumah, mencuci, masak, atau bersih-bersih rumah. Kalau hal ini tidak tercapai, ia ingin punya banyak uang yang nanti dipakai untuk operasi plastik. Ia beranggapan apabila ia cantik, ia tidak perlu berebut dengan waria lain untuk mendapat pelanggan.

3 komentar di “Kisah Para Penghuni Lempuyangan

Tinggalkan komentar