Wiraswasta Minim Modal

Secangkir kopiMemiliki usaha tidak harus menunggu kaya dahulu. Setidaknya itu yang saya tangkap dari dua pembicara yang berbagi cerita di acara Kopi dan Kewirausahaan Sosial. Acara yang diselenggarakan oleh Prodi Sosiologi UAJY tersebut menghadirkan Denny Neilment dan Khyushu Firmansyah. Kedua pemilik warung kopi ini bercerita mengenai bagaimana mereka merintis usaha kopinya.

Saya kebagian menjadi moderator sesinya Mas Denny. Mas Denny yang berasal dari Padang ini memulai bisnisnya waktu kuliah di UII. Tahun 2003, ia dan lima orang temannya membuka warung kopi karena sama-sama menyukai kopi. Mereka kemudian mencoba mencari sponsor karena tidak memiliki modal. Bukan hal yang mudah ternyata. 30 proposal pendanaan yang mereka sebar ditolak. Kelimanya kemudian mengganti cara mencari dana. Mereka berusaha mendekati teman-temannya yang anak orang kaya untuk mendanai warung kopinya.
Setahun berjalan, Mas Denny lulus kuliah. Orangtuanya di Padang meminta supaya Mas Denny menggunakan ijasahnya untuk mencari pekerjaan yang lebih mapan. Mas Denny memilih untuk meneruskan bisnisnya. Teman-teman Mas Denny kemudian beralih ke usaha lain. Kini, pria berusia 35 tahun tersebut mengelola perusahaan yang memiliki 12 cabang Kedai Kopi dan satu premium café dengan nama It’s Coffe. Warung-warung kopi tersebut selain menyediakan kopi juga menyediakan minuman dan makanan lain. Supaya para pelanggannya bisa mengajak orang lain yang bukan peminum kopi untuk nongkrong di Kedai Kopi. Konsumen mereka didominasi oleh mahasiswa.

???????????????????????????????

Pembicara kedua lebih dikenal dengan nama Pepeng. Sesi Mas Pepeng dipandu oleh Mbak Rina. Awalnya, Pepeng tidak memiliki latar belakang kopi maupun bisnis. Ia tadinya belajar di sekolah penerbangan. Pepeng juga sempat bekerja mengelola web sebuah perusahaan. Karena merasa hidupnya stagnan, ia keluar dari pekerjaannya. Pepeng mengenal kopi saat melakukan perjalanan ke berbagai wilayah di Indonesia. Tempat yang ia datangi banyak yang menjadi daerah penghasil kopi. Awalnya, ia sekadar tertarik membeli kopi untuk oleh-oleh. Lama kelamaan, mulailah dirinya mempelajari literature tentang kopi dan cara membuat kopi.

Klinik kopi ia dirikan dengan modal alat-alat senilai 6 juta rupiah. Ia tidak mengeluarkan uang untuk menyewa tempat karena ia meminjam Pusat Studi Lingkungan milik Universitas Sanata Dharma. Sebagai gantinya, Klinik Kopi memberikan sebagian keuntungan kepada pengelola tempat tersebut. Pepeng mulai mengaktifkan seluruh media sosialnya. Karena promosi yang gencar, orang mulai tertarik untuk datang.

Sesi Mas Pepeng penuh dengan cerita. Mulai dari orang-orang yang datang ke kedainya untuk minum kopi sampai perjalanan ke daerah-daerah penghasil kopi. Ia bercerita tentang petani-petani kopi yang tidak pernah mencicipi kopi yang mereka tanam. Jaman belanda dulu, buruh kopi dilarang mengonsumsi kopi. Mereka minum daun kopi yang disebut tawa. Bulan lalu, Mas Pepeng pergi ke Papua. Di sana ia mengajarkan bagaimana cara menanam dan memetik kopi yang benar ke petani kopi di Wamena. Tiap kali datang ke tempat penghasil kopi, ia membuatkan kopi untuk para petaninya. Menurutnya, jika seorang petani bisa merasakan enaknya ngopi, mereka akan menjaga kualitas kopinya.

Kedua pembicara tersebut ingin supaya masyarakat beralih ke kopi sungguhan. Ironis jika negeri yang menjadi penghasil kopi nomer tiga dunia penduduknya konsumen kopi instan. Vietnam kini lebih maju di bidang perkopian. Padahal dahulu petani-petani kopi mereka datang ke Indonesia untuk belajar bagaimana cara menanam kopi. Sekarang, dengan luas perkebunan yang lebih sempit, hasil panen pertahun kopi Vietnam lebih tinggi dibanding Indonesia.