Ketika Orang Baduy Bertamu ke Jakarta

Om saya kaget saat tiba-tiba ada tiga orang laki-laki memakai jas dan sarung pendek hitam-hitam datang ke rumahnya di kawasan Arteri Pondok Indah, Jakarta. Busana mereka dilengkapi dengan ikat kepala putih dan buntalan kain untuk membawa barang. Sebilah golok terselip di ikat pinggang ketiganya.

Sabtu (10/11 2007) lalu ada tiga orang Baduy Dalam datang berkunjung ke rumah Om saya, Wardjito. Jali (35), Juli (19), dan Aldi (30) datang untuk membalas kunjungan kami. Bulan Juli lalu saya, Anggi—sepupu saya, dan tiga orang rekan menginap di rumah Bang Jali di Kampung Cibeo’, Baduy Dalam. Waktu itu kami meninggalkan alamat Anggi pada keluarga Bang Jali. Kami tidak menyangka jika ada orang Baduy yang akan membalas kunjungan kami.

Menyusuri rel

Jali dan kedua rekannya pergi ke Jakarta dengan berjalan kaki selama tiga hari. Ini sudah keempat kalinya untuk Bang Jali pergi ke Jakarta. Mereka berjalan tanpa alas kaki sejauh kurang lebih 160 km! Bagi orang Baduy Dalam, memakai alas kaki dan naik kendaraan merupakan buyut—terlarang. Mereka selalu pergi dalam rombongan. Di antara rombongan harus ada orang yang sudah pernah berkunjung ke Jakarta sebelumnya.

Saat itu saya yang berada di Yogya hanya mendengar cerita dari Anggi jika tetangga-tetangganya kaget saat tiga orang berbaju hitam-hitam menanyakan alamat. Ketiga teman dari Baduy ini mencari rumah Anggi dengan cara bertanya beberapa kali ke tetangga sekitar rumahnya. Mereka bertiga kemudian menginap semalam di rumah Anggi.

Sebelumnya, Bang Jali dan kawan dari Cibeo’ ini sudah berada seminggu di Jakarta. Saya yang penasaran dengan cerita Anggi kemudian menelepon dan meninta disambungkan dengan Bang Jali. Melalui telepon Anggi, Bang Jali bercerita kalau sebelumnya menginap di daerah Darmawangsa, Cendana, dan Cijantung.

Lalu bagaimana mereka bisa sampai ke Jakarta? Bukankah orang-orang Baduy ini tidak bisa membaca penunjuk jalan? Ternyata, mereka berjalan kaki menyusuri jalan yang dilalui Elf—mobil angkutan umum—yang menuju Rangkasbitung. Setelah itu, Bang Jali dan kawan-kawan menyusuri rel kereta api menuju Jakarta.

Kata Bang Jali mereka pergi ke Jakarta untuk main. Mereka mengunjungi kenalan yang dulu pernah menginap di rumahnya. Saat mencari alamat mereka harus bertanya berkali-kali ke orang-orang yang mereka temui sepanjang perjalanan. Sebelumnya, orang-orang Baduy ini meminta orang lain untuk membacakan alamat orang-orang yang akan mereka datangi. Setelah itu mereka menghapalkannya dan bertanya berkali-kali pada orang-orang yang mereka temui di jalan. Mereka tidak bisa membaca petunjuk jalan dan tidak memiliki peta.

Bang Jali menanyakan letak rumah saya supaya lain kali mereka bisa berkunjung. “Rumah Lutfi di mana? Boleh kali lain kami berkunjung?” tanya Bang Jali. Saya tertawa dan tidak bisa membayangkan berapa lama perjalanan dari Baduy ke Yogya dengan jalan kaki. Saya kemudian meminta Anggi untuk menunjukkan letak Jakarta, Banten, dan Yogya di peta Pulau Jawa. Supaya Bang Jali bisa membandingkan betapa jauh perjalanan ke rumah saya jika ditempuh dengan jalan kaki.

Lain Jakarta Lain Baduy

Dulu waktu pergi ke Cibeo’, saya dan teman-teman harus berjalan kaki sejauh lima belas kilometer. Naik turun gunung melalui jalan setapak yang melelahkan. Waktu itu Bang Jali berkata untuknya jalan tadi jauh lebih nyaman daripada aspal Jakarta. Setiap kali pulang dari Jakarta, ia harus beristirahat di rumah selama seminggu. Kakinya melepuh karena tidak kuat terlalu lama berjalan di aspal yang panas saat terkena terik matahari.

Bulan Juli lalu, saya sempat ngobrol dengan beberapa laki-laki dewasa Baduy. Saya heran kenapa mereka mau capai-capai berjalan kaki ke Jakarta? Umumnya, mereka menjawab jika mereka ingin tahu seperti apa kota besar tempat tamu-tamunya datang. Kota yang menurut cerita orang-orang yang pernah berkunjung di sana sangat ramai dan penuh dengan orang-orang yang memakai baju berwarna-warni. Tidak seperti orang-orang Baduy yang hanya memakai baju warna hitam, putih, atau biru. Kadang, sebelum pulang, orang-orang Baduy mampir di Blok M untuk membeli manik-manik atau cincin sebagai oleh-oleh untuk keluarga di rumah. Oh ya? Untuk kami, justru orang-orang Baduy dengan kesederhanaannya yang membuat kami tertarik ingin melihat lebih dekat. Bahkan, ada yang menjual keunikan orang-orang Baduy ini sebagai paket wisata. Saya beberapa kali menemukan iklan tentang wisata ke Baduy dalam beberapa mailing list.

Saya kemudian membayangkan seperti apa jika orang-orang Baduy menyeberang jalan-jalan besar di Jakarta yang dipenuhi lalu-lalang kendaraan. Bukankah di tempat asalnya jalan-jalan begitu sepi? Kata Bang Jali, mereka harus mencari orang yang sama-sama menyeberang jalan.

Apa komentar Anggi saat saat saya menanyakan kesannya didatangi tamu-tamu unik ini? “Kaget. Nggak ada kabar tahu-tahu datang ke rumah. Lucu aja punya tamu yang nggak biasa. Aku masih nggak percaya kalo mereka bisa sampai rumah. Mereka tu makan banyak sekali. Ditawari apa saja pasti habis.”

Saya jadi ingat waktu menginap di Baduy. Kami beberapa kali disuguhi mie instant. Ternyata mie instant sudah menjadi makanan harian orang Baduy. Mereka membelinya dari orang-orang Banten yang tiap minggu datang membawa pikulan ke baduy. Ironisnya, orang Baduy yang dulunya petani (sekarang pun masih), membeli sebagian beras untuk konsumsi sehari-harinya dari pedagang ini.

Sebelum menutup pembicaraan di telepon, Bang Jali berkata, “Bulan Kalima, Juli menikah. Kalau ada waktu silakan datang.” Semoga saat itu kami bisa kembali berkunjung. Untuk melihat lagi Baduy. Mungkin pada waktu pernikahan Juli? Katanya istri Juli berusia 14 tahun. Oh, saya jadi seperti turis lainnya. Ingin melihat manusia-manusia unik ini.

4 komentar di “Ketika Orang Baduy Bertamu ke Jakarta

  1. Wah. Aku nggak tahu kamu sudah punya blog ini sejak tahun 2008… O_O

    Haha. Wah, kehormatan juga, ada orang Badui Dalam menginap di rumah ommu. Tapi memang pertamanya pasti kaget dan lucu (baca: sedikit aneh) ketika mereka pertama datang. Aku membaca cerita ini sambil separuh cekikikan separuh melotot (separuh kaget separuh ga percaya). Great!

    Iya. Katanya mereka sudah terbiasa makan mi instan di sana, dan sungainya bertebaran bungkus mi instan… Hmm. Tapi aku penasaran kenapa mereka ga makan beras sendiri? Bukannya mereka punya banyak lumbung padi yang umurnya bisa sampai ratusan tahun itu? Atau mungkin mereka mulai tergiur nafsu konsumerisme yang sudah melahap kota-kota besar (dan kadang juga yang kecil) di Indonesia? Yah, sayang sekali…

    Ide yang sangat menarik: Bagaimana caranya orang Badui jalan kaki ke Yogyakarta? Harus menginap berapa minggu di jalan ya? (Wah, kasihan juga…)

    Yah, dan satu lagi: Apa mereka boleh pake salep? 🙂 Kasihan tuh telapak kakinya… *wince* Awwwhh.

    Rey

  2. Iya, dah lama punyanya. Cuma dulu jarang ditengok. Maret nanti aku pengen tinggal di Suku Kajang. Katanya seh nggak jauh beda sama Baduy.

  3. Hai.. Salam kenal..
    Saya mo Tanya apakah org baduy tsb sering dtg k rmh utk selanjutnya dan minta uang?
    Karena d rumah mertua saya, org baduy tsb sering datang dan minta sejumlah uang dan memaksa…
    Serta uang Ɣªήğ diminta tdk kecil dgn alasan tuk beli kerbau hitam tuk upacara…
    Dan apakah org baduy ada upacara2 sprt itu

Tinggalkan komentar