Drama itu Cukup Ada di Sinetron Saja

Saya selalu berusaha sibuk atau keluar kota saat seorang kenalan, sebut saja Bunga ingin bertemu. Bukannya sombong, lama-kelamaan saya bosan mendengarkan tragedi hidupnya. Mulai dari punya pacar playboy tapi dia terlanjur cinta mati, ibu yang hobi mencela apapun tindakannya, juga teman-temannya yang menikam dari belakang. Untuk mendukung ceritanya, tidak jarang Bunga menangis tersedu-sedu. Kalau sedang baik hati, saya jadi pendengar yang baik. Kalau sedang kumat sinisnya, saya hanya berkomentar: “Kamu ke psikolog saja deh”. Ditambah dengan ceramah standar: “Hei, di dunia ini ada lebih dari 7 milyar orang. Banyak yang anggota tubuhnya tidak lengkap atau dibuang orangtuanya tapi tidak secengeng kamu.”

Dan, orang yang saya kenal hobi mengasihani diri sendiri bukan hanya Bunga. Hampir tiap minggu ada kenalan atau teman yang tahu-tahu mengirim pesan tentang kisah sedihnya. Mulai dari aku sakit lo, tadi tidak sempat makan karena terlalu keras bekerja, sampai seorang istri yang masih belum bisa melupakan mantan suami padahal ia sudah menikah lagi. Apa hubungannya dengan saya?

Kata teman saya, ada orang-orang punya kecenderungan menjadi drama queen. Ia kemudian bercerita tentang seseorang yang pernah membuat heboh teman sekantor gara-gara pura-pura buta. Si mbak ini juga pernah beberapa kali meminta teman-temannya datang ke acara ganti agama hanya untuk mendapat perhatian.
Kalau mengutip dari Physyc Central, penyakit ini namanya hisrionic personality. Definisinya begini:
Histrionic personality disorder is characterized by a long-standing pattern of attention seeking behavior and extreme emotionality. Someone with histrionic personality disorder wants to be the center of attention in any group of people, and feel uncomfortable when they are not. While often lively, interesting and sometimes dramatic, they have difficulty when people aren’t focused exclusively on them.
Itu histeria kelas berat yang sudah masuk dalam kategori sakit jiwa. Ada juga histeria ringan yang sering kita temui di sekitar kita. Bisa jadi kita termasuk di dalamnya. Pengidap histeria ini sering menampilkan dirinya sebagai “korban” atau “ratu”. Entah kenapa, pelakunya lebih banyak perempuan. Mungkin karena perempuan cenderung makhluk sosial yang butuh pengakuan dari orang lain? Balik ke ratu atau raja drama, bukankah tiap hari media sosial kita penuh tukang sampah yang berkeluh kesah. Orang-orang ingin mengabarkan pada dunia kalau dirinya orang paling malang sedunia. Atau orang-orang yang memiliki pencitraan ini lo saya, mahluk keren karena melakukan ini dan itu.
Waktu makan malam dengan teman, kami menganalisis (ini bahasa keren dari merumpi) tentang beberapa kenalan kami yang hobi menjadi pusat perhatian. Ada yang suka menelfon atau meminta pertolongan lawan jenisnya tanpa alasan jelas. Dan, entah kenapa, orang-orang yang kami absen ini populer di komunitasnya atau di dunia maya. Mereka punya kegiatan sosial dan sering mendapat pujian karena hal tadi. Beberapa bahkan pernah mendapat penghargaan untuk aktivitas sosialnya. Yang kalau dilihat lebih dekat, kegiatan sosialnya tidak sehebat koar-koarnya di dunia maya. Saya tidak tahu mereka sadar atau tidak, orang-orang ini suka memanipulasi orang untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Mereka juga suka menyenang-nyenangkan orang lain dengan harapan mendapat perhatian.

Kasihan ya Indonesia. Pantas Indonesia tidak maju-maju. Pada sibuk mendapat nama supaya kelihatan keren dan menjadi pusat perhatian. Biasanya, drama queen atau king ini hanya mau membantu saat ia diuntungkan. Ia juga hanya mau mendengar hal-hal yang berkaitan dengan dirinya atau kelompoknya.

Anak Papua

Ada banyak teori mengenai kenapa seseorang punya kepribadian histeria. Kepribadian ini tidak disebabkan oleh hal tunggal. Kemungkinan paling besar perilaku tersebut efek dari perlakuan orangtua atau lingkungan terdekat pada usia belia. Iya, karena kepribadian seseorang terbentuk pada masana kanak-kanaknya. Cara seseorang memperlakukan orang lain merupakan proyeksi dari kekurangan yang ia dapat waktu kecil.
Saya kemudian bercerita ke teman, kalau saya tidak menyukai orang-orang yang kami bicarakan tadi. Mungkin, karena saya terbiasa menjadi satu-satunya perempuan atau menjadi yang paling muda di sebuah komunitas atau organisasi. Sepertinya, saya merasa tersaingi saat ada orang lain menjadi pusat perhatian. Mungkin, saya juga punya bakat histeria.