Antara Hadiah, Suap, dan Ucapan Terimakasih

“Tidak, terimakasih. Saya sedang bekerja. Saya sudah digaji,” tutur Yamada, seorang staf Kedutaan Jepang saat teman saya memberikan batik. Ia berkali-kali mengucapkan terimakasih atas perhatian teman saya. Dan tetap tidak mau menerima hadiah tersebut meski teman saya berkata itu hanya sekadar cindera mata. Menurut teman saya, suatu hal yang wajar memberikan kenang-kenangan saat mengakhiri sebuah kerjasama. Hal tersebut bukan suap karena ia memberi hadiah setelah kerjasamanya berakhir. Bukan dalam bentuk uang atau barang berharga.

Saya salut dengan Yamada yang tegas menolak pemberian dalam bentuk apapun. Teman saya bercerita, sebelumnya Yamada pernah datang meninjau bantuan. Saat itu, teman saya mengundang makan. Bukankah di Indonesia saat kita kedatangan tamu dan menjamu adalah hal wajar? Tapi Yamada menolak, dia berkata dia mendapat biaya perjalanan dan menawarkan untuk membayari teman saya makan.

Keren ya? Berani menolak hadiah? Kalau saya pribadi, saya masih menerima hadiah selama itu masih wajar dan diberikan setelah kerjasama berakhir. Beda cerita kalau ada iming-iming di muka. Dulu, saya pernah mencetak kop surat untuk sebuah lembaga. Saya pergi ke sebuah percetakan yang sebelumnya pernah menawarkan kerjasama. Pemilik percetakan tadi tahu kalo lembaga tersebut akan mencetak publikasi lain dan saya yang mengerjakannya. Sewaktu membayar, pemilik percetakan tersebut berkata ada diskon yang tidak ia tulis di nota. Diskon tersebut untuk saya sebagai pembawa order. Ia juga berpesan supaya saya menggunakan jasanya saat mencetak untuk lembaga lain. Suatu ketika, saya butuh percetakan. Saat ada beberapa yang memberikan penawaran harga, saya langsung mencoret percetakan tadi dari daftar. Kalau cara dia mendapatkan sesuatu saja tidak jujur, saya tidak yakin jika nanti kami bekerjasama dia tidak memberikan barang dengan mutu lebih rendah.

Saya sering mendengar cerita tentang kewajiban memberi ucapan terimakasih saat mengerjakan proyek. Ada saja orang-orang yang meminta uang lelah padahal ia sama sekali tidak terlibat mengerjakan proyek tersebut. Kadang ada yang bercerita si pemberi pekerjaan mematok harus ada sekian persen dana yang diberikan ke kas pribadinya. Ada juga tidak menyebut angka tapi secara halus berkata pemberi proyek sudah melebihkan anggaran sehingga ada angka yang bisa untuk mereka. Saya sering heran mendengar alasan seseorang mengambil sesuatu yang bukan haknya. Katanya, gajinya terlalu kecil dan tidak cukup untuk gaya hidupnya (catat: bukan kebutuhan). Saya cuma diam, sebenarnya saya ingin bertanya: kalau memang gajinya kecil kenapa tidak mencari pekerjaan lain? Ada banyak orang yang mau menggantikan dirimu kok. Dan memang apa sih yang sudah kamu lakukan sehingga meminta dibayar besar? Kenapa tidak mencari hal lain untuk menambah pemasukan?